Feed on
Posts
Comments

Siaran BFC 90.4 Cosmopolitan FM – 26 Agustus 2008

istock_000003104982xsmall2

Kita seringkali merasa ada sesuatu yang kurang baik tentang sifat, kebiasaan, perilaku dan diri kita. Setiap saat, terutama di awal tahun ketika banyak orang merumuskan resolusi awal tahunnya, ada energi dan upaya besar untuk MEMPERBAIKI DIRI.

Namun hampir selalu upaya mengubah diri dalam rangka perbaikan ini berakhir pada kegagalan. Bahkan gagal mengubah diri ini pun, semakin memperburuk perasaan kita, karena kita semakin menghakimi diri lebih lanjut seperti “Sudah punya kebiasaan buruk, tak mampu memperbaiki diri, pula!”.

Dalam perenungan ini, marilah kita telusuri darimanakah rasa kurang cukup baik ini muncul, bagaimana sebenarnya baik belum tentu baik, buruk pun belum tentu buruk, serta bagaimana mengupayakan perubahan yang alamiah, tidak dipaksakan, dan bermanfaat bagi kehidupan kita.

Yang menarik, salah satu kesimpulan dari diskusi ini, justru kita perlu melonggarkan semua upaya untuk mengubah diri secara besar, dan justru perlahan-lahan belajar menerima diri kita apa adanya

Pudarnya Diri Apa Adanya & Lahirnya Diri ‘Palsu’

  • Ketika kita terlahir ke dunia sebagai seorang bayi, kita masih dalam keadaan polos dan mampu bamenerima diri sendiri sepenuhnya, apa adanya. Namun, dalam proses pertumbuhan menuju dewasa, pengaruh yang dituangkan ke dalam batin si bayi oleh keluarga, sekolah dan lingkungan perlahan-lahan mengajarkan bahwa tidaklah baik untuk menjadi diri sendiri apa adanya.
  • Hasil akhir berbagai pengkondisian ini bisa beragam, bisa saja membentuk seseorang menjadi sosok yang minder, atau justru memiliki rasa percaya diri yang berlebihan. Manapun yang dialami, dia akan mengalami kesulitan untuk menjadi dan menerima diri sendiri apa adanya. Meskipun pengkondisian berawal dengan niat yang positif, yakni agar orang yang bersangkutan bisa bersosialisasi dengan baik dengan lingkungannya, namun juga berakibat hilangnya diri sejati orang tersebut dan sulit untuk menjadi ‘apa adanya’ lagi.
  • Pengkondisian seorang individu paling kuat terjadi hingga usia 6-7 tahun dimana ego dan rasa keterpisahan sudah mulai matang dan seorang anak mulai menjadi individu yang ‘berdiri sendiri’.
  • Akibat jangka panjang dari tidak bisa menerima diri sendiri adalah berbagai masalah yang kita alami saat ini sebagai orang dewasa. Contoh misalnya kebiasaan makan berlebihan ketika stres. Hal ini dapat terjadi karena orangtua yang merasa terganggu oleh tangisan anak mereka memilih jalan instan untuk mendiamkan si anak dengan cara memberinya makanan. Tanpa disadari, kebiasaan ini terbawa hingga si anak menjadi dewasa, sehingga membentuk pola dalam hidupnya, yang memicunya untuk ‘melarikan diri’ dari stres dengan mencari makanan.

Kebiasaan Buruk, Benarkah Buruk?

  • Dalam banyak situasi, apa yang kita sebut sebagai kebiasaan buruk sebenarnya tidak benar-benar buruk. Persoalannya, kita sudah ‘terlatih’ untuk berpikir bahwa ada yang tidak beres dengan diri kita, dimana pikiran inilah yang sebenarnya perlu diperbaiki.
  • Seringkali kita melihat sebuah kebiasaan sebagai hal yang buruk karena dilihat secara ‘dangkal’, tanpa menelusuri penyebab munculnya kebiasaan tersebut secara mendalam. Contoh: kebiasaan melamun sering disebut sebagai kebiasaan buruk, namun apabila ditilik lebih jauh, ide-ide kreatif yang kita miliki justru sering timbul ketika kita sedang melamun. Dalam kasus ini, melamun bukanlah sebuah kebiasaan buruk, karena ia justru menjadi sarana untuk munculnya kreativitas. Jadi baik atau buruknya suatu pola sebenarnya relatif.
  • Salah satu kebiasaan diri yang paling kejam dan paling sering menimbulkan stres adalah MEMBANDINGKAN diri kita dengan orang lain. Kita cenderung berfokus pada kekurangan dan kelemahan yang kita miliki, sehingga kita selalu merasa diri kita lebih buruk, serba kurang dan harus diubah. Hasilnya, pemikiran semacam ini menyebabkan kita ‘meneliti’ secara berlebihan setiap kebiasaan yang kita miliki dan mengaitkannya dengan kebiasaan buruk.

Bukan Demi Memperbaiki Keburukan, namun Demi Bertumbuh & Berkembang

  • Tidak ada yang salah dengan perubahan, dan tidak ada yang salah dengan memiliki keinginan untuk berubah. Yang salah adalah ketika niat berubah didorong oleh penghakiman terhadap diri sendiri karena kita selalu merasa buruk dan serba kurang. Yang seharusnya menjadi pendorong utama untuk mengalami perubahan adalah keinginan untuk bertumbuh dan berkembang. Dalam hal ini, kita menerima diri sendiri apa adanya, dan mengerti bahwa sebagaimana kehidupan terus mengalami perkembangan, kita pun turut bertumbuh bersamanya.
  • Biarkan diri kita berkembang secara alami tanpa disponsori oleh perasaan negatif, karena perasaan seperti itu justru menghambat terjadinya perubahan. Pemikiran bahwa ‘saya salah, saya harus memperbaiki diri’ akan selalu memicu terjadinya perubahan yang tidak natural. Sebaliknya, penerimaan yang tulus terhadap diri sendiri akan menyebabkan perubahan terjadi secara alamiah, atau dengan kata lain, perubahan yang kita alami bukan hasil dari sesuatu yang dipaksakan.

Berubah Demi Orang Lain, Sehatkah?

  • Tidak ada yang salah dengan mengubah diri demi seseorang yang kita sayangi atau hormati. Namun, ketika tendensi untuk ‘melayani’ atau ‘menyenangkan’ orang lain mulai membuat kita menjadi lelah dan stres, kita perlu menunda sejenak refleks kita untuk menyenangkan orang lain dan melihat ke dalam diri sendiri.
  • Seringkali, seseorang berkorban demi orang lain dengan mengatasnamakan cinta. Jangan tertukar, antara berkorban dengan cinta. Karena kita belum dapat mencintai diri sendiri sepenuhnya dan apa adanya, kita merasa harus melengkapi kekurangan tersebut dengan mendapatkan ‘cinta’ dari orang lain, dan kita memperoleh ‘cinta’ itu melalui pengorbanan. Yang seharusnya terjadi adalah, kita berbagi keutuhan dengan orang yang kita cintai, ketimbang mencoba mengisi ‘kekurangan cinta’ dengan berkorban demi bisa diterima dan dikasihi.

Berubah Secara Alamiah

Kunci untuk menerima diri sendiri agar perubahan yang alamiah dapat terjadi:

  • Jangan berusaha untuk melakukan perubahan yang besar atau ekstrim. Makin besar target perubahan, semakin tinggi stres, semakin kuat rasa penghakiman diri yang akan jadi bom waktu. Sadari dahulu penyebab ‘terpendam’ yang melatari timbulnya sebuah kebiasaan yang kita anggap ‘buruk’.
  • Longgarkan (bahkan kalau bisa hentikan) kebiasaan membanding-bandingkan diri dengan orang lain, agar kita tidak terbebani dengan rasa ‘saya harus berubah’.
  • Temukan hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk mengawali terjadinya perubahan, dan terapkan dengan sadar dan setia.

10 Responses to “Berubah Alamiah: Kecil, Sadar & Setia”

  1. JJ says:

    Sekadar ingin berbagi, saya pernah terjebak dalam stres yang cukup besar karena terlalu keras memaksa diri untuk berubah. Saya selalu merasa ada yang kurang dengan diri sendiri dan sering sekali membanding-bandingkan diri dengan orang lain (meski kerap kali perbandingan itu juga timbul dari lingkungan sekitar, yang saya terima dalam bentuk penghakiman karena saya tidak sanggup memenuhi ekspektasi orang2 di sekitar saya). Dalam konteks hubungan pribadi -yang lebih banyak stagnan ketimbang bertumbuh- seseorang pernah mengatakan, “Kamu merasa ‘kosong’ karena kamu tidak hidup dengan hati nurani yang murni. Itu yang membuat kamu selalu merasa perlu dicintai,” dan sebagai hasilnya saya semakin keras berusaha mencari apa yang salah dengan diri saya, ‘kejahatan’ apa yang saya lakukan sampai menyangkali hati nurani sendiri, yang harus saya ubah.

    Pertempuran dengan diri sendiri sungguh sesuatu yang melelahkan, apalagi kalau hasil yang ingin dicapai berupa perubahan, karena semakin keras berusaha, yang didapat justru beragam stres dan tekanan yang semakin menumpuk. Saya hanya ingin berubah menjadi orang yang lebih baik, yang lebih menyenangkan bagi orang2 di sekitar saya, yang lebih disukai. Namun keinginan dan usaha ini pula yang akhirnya melahirkan penderitaan lahir-batin. Sampai akhirnya saya berhenti berusaha karena frustrasi dan memilih untuk jadi pemberontak sekalian.

    Seandainya saya mendengar siaran ini sejak dulu. 🙂

  2. inoth says:

    Yang ini… aq banget 🙁
    Sekarang persoalannya… maukah orang lain menerima aq apa adanya?

  3. Agi says:

    Memang sulit untuk tidak membandingkan kita dengan orang lain, kadang berakhir dengan kekecewaan. Tapi saya sudah mulai belajar bagaimana tidak membandingkan (walau masih suka jg sih!!) Perlu waktu , niat , menyadari , saya masih agak rancu dgn ” Temukan hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk mengawali terjadinya perubahan” Mas bisa kasih penjelasan tentang ini, Makasih banget.

  4. Dear Inoth,

    Tentang orang lain menerima kita apa adanya. Masalah ini akan hilang sendiri ketika kita sudah bisa menerima DIRI KITA sendiri apa apanya, termasuk menerima ‘ganjalan hati’ akibat orang lain yang tidak menerima kita.

    Selama orang lain juga belum menerima diri mereka sepenuhnya, mereka akan selalu sulit menerima kita. Jangan jadikan penerimaan orang lain terhadap Anda, menjadi problem dan tanggung jawab Anda. Karena ini akan mempersulit kita untuk bisa menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya.

    Selamat berproses, Reza

  5. Dear Agi,

    “Temukan hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk mengawali terjadinya perubahan”.

    Maksudnya begini, tidak perlu buat resolusi atau target besar yang membuat kita semakin tegang dan semakin kecewa dengan diri sendiri. Cari saja perubahan kecil apa yang mudah dipraktekkan. Lakukan dengan sadar dan setia sehingga menjadi kebiasaan baru. Kebiasaan baru inilah yang suatu saat akan menjadi perubahan besar yang datang secara alamiah.

    Misalnya, seseorang punya masalah “ngemil” berlebihan. Ketimbang membuat target ekstrim “mulai sekarang saya harus berhenti ngemil”, lebih mudah mencari 1 hal sederhana yang dia bisa lakukan.

    Salah satunya adalah ketika “rasa nagih ngemil” muncul, dia bisa berhenti sejenak, bernapas dan merasakan ke dalam. Ini akan sedikit mengerem refleks ngemil dan melahirkan kesadaran tentang “Apakah saat ini tubuh saya lagi benar-benar perlu pasokan nutrisi / makanan, ataukah saya sedang melarikan diri dari stres dengan cara ‘ngemil’?”.

    Ini bisa dilakukan pada masalah apapun yang kita ingin ubah. Kuncinya: perubahan kecil, dilakukan dengan sadar, dan setia.

    Selamat berlatih!
    Reza

  6. inoth says:

    Wow, makasih… 🙂
    Aq praktekin ya…. ;D

  7. inoth says:

    OMG, beberapa hari ini amazing rasanya…
    Aku sekarang ga begitu terlalu perhatiin bgt apa penerimaan orang lain terhadap apa2 yang aku buat 🙂
    Tugasku hanyalah melakukan segala sesuatunya dengan sikap terbaik dan memberikan yang terbaik yang kupunya untuk orang lain…
    Aku bahagia nih! 🙂
    Rasanya… ringan…

    A million thanks,
    Inoth

  8. Sama sama Inoth,
    Terimakasih sudah berbagi perjalanan tumbuhnya…

    Reza

  9. Salam kenal sebelumnya,
    Saya dulupun pernah mengalami hal seperti diatas…membandingkan dan dibandingkan. Terkadang saya sendiri merasa lelah dengan apa yang telah dilakukan selama ini, harus berubah menjadi inilah, menjadi itulah, hingga akhirnya sempat saya berada dalam satu kondisi blank. Mau jadi apa sebenarnya saya ini?
    Namun alhamdulillah, setidaknya kinipun saya sudah mulai belajar untuk menyayangi diri sendiri, tidak lagi terlalu menuruti tuntutan eksternal yang sekiranya justru membuat stress saya kian bertambah, dan saat inipun saya masih mempelajarinya.

    Terima kasih banyak atas tulisannya

    Nono

  10. rose says:

    Menurut saya…. mencari ‘diri sendiri’ itu sesuatu jg… dan apa yg kita anggap diri sendiri, terkadang kita bertanya2 lagi.. bener ga sih? Penemuan diri sendiri itu ga.. ‘ketemu terus sudah’ melainkan penemuan demi penemuan sepanjang perjalanan hidup. Dan terkadang kita diam sejenak dan bertanya.. ‘ini saya bukan?’ atau ‘inikah yang saya mau?’

    Kalau saya pribadi.. ‘jati diri’ yg saya bentuk lebih ke penolakan akan apa yg orang-orang sekitar berharap dr saya. Apakah ini diri saya yg sebenarnya? menurut saya bukan. Apakah sebaiknya saya mulai berubah? hmm.. suatu hari…