Feed on
Posts
Comments

Siaran BFC 90.4 Cosmopolitan FM – 10 Maret 2009

istock_000005555066xsmall2
Dalam pengalaman terapi melalui penyembuhan holistik, seringkali saya bertemu dengan berbagai kasus terapi yang pada intinya sangat bertumpu pada seberapa baik hubungan kita dengan satu-satunya kendaraan yang senantiasa menyertai perjalanan hidup ini, yaitu tubuh kita sendiri.

Saya menyebut relasi dan persepsi kita tentang tubuh kita sendiri sebagai CITRA TUBUH (body image). Seandainya perlu didefinisikan, yang paling mendekati adalah: bagaimana kita melihat, menghargai, mencintai dan menerima tubuh kita sendiri. Persepsi yang tersimpan dalam citra tubuh ini, bisa saja yang kita sadari, namun sering juga yang tersembunyi dalam bawah sadar kita.

Sebenarnya bila dirunut ke awal kehidupan, saya menduga bahwa kita semua dilahirkan dengan citra tubuh yang sehat, atau dengan kata lain, kita bisa menerima tubuh kita apa adanya. Namun mengapa ada begitu banyak masalah saat kita menjadi dewasa, yang berhubungan dengan kesulitan kita untuk menerima tubuh sendiri apa adanya, bahkan banyak yang secara tidak sadar membenci tubuhnya sendiri?

Pengalaman Hidup Mengubah Citra Tubuh yang Sehat
Saya cenderung menyimpulkan bahwa bila kita semua lahir citra tubuh yang sehat, dan kemudian berubah saat dewasa, besar kemungkinannya bahwa serangkaian pengalaman kehidupan, baik sengaja maupun tidak, berpotensi mengubah bagaimana kita menerima dan mencintai tubuh kita. Beberapa sumber berubahnya citra tubuh menjadi kurang sehat adalah:

  • Kebiasaan kuat dalam keluarga maupun lingkungan untuk senantiasa membanding-bandingkan diri dengan orang lain.
  • Pola pergaulan yang menekankan bahwa tubuh yang ideal, harus punya ciri-ciri fisik tertentu, sehingga kita jadi senantiasa mendera tubuh kita dengan standar ideal tersebut.
  • Efek negatif media yang mengkomersialkan ide tentang bentuk & ukuran tubuh yang ideal, terkadang juga dari industri mode & gaya hidup.
  • Mispersepsi tentang daya tarik fisik dan cinta, yang mengajarkan kita bahwa untuk memperoleh cinta, kita harus memaksimalkan daya tarik fisik kita.
  • Berbagai trauma yang berhubungan dengan cinta dan seksualitas, yang mulai mencegah kita untuk dapat mencintai tubuh sendiri sepenuhnya.

Masalah yang Berakar Pada Citra Tubuh yang Tidak Sehat
Begitu banyak masalah yang bisa muncul dari berubahnya citra tubuh kita. Dari mulai gangguan fisik, mental emosional hingga kegelisahan spiritual bisa membayang-bayangi kehidupan kita. Dalam tulisan pendek ini, saya berupaya untuk memberikan spektrum masalah yang bisa muncul, dan untuk memudahkan akan dibagi menjadi beberapa kategori: (1) obsesi mengubah tubuh secara berlebihan, (2) pergaulan sosial yang tak kunjung nyaman, (3) berbagai bentuk adiksi / kecanduan, dan terakhir (4) problem cinta dan seksualitas.

Masalah 1: Obsesi Mengubah Tubuh secara Berlebihan
Rasa kurang suka dan kurang mencintai tubuh kita sendiri, akan mendorong keinginan untuk mengubah tubuh kita. Keinginan ini sendiri sebenarnya wajar, namun bisa berbahaya ketika sudah menjadi obsesi atau tidak lagi memilah mana cara yang sehat dan aman untuk mengubah diri.

Sebagai contoh umum, kita cukup familiar dengan obsesi untuk melakukan olahraga secara berlebihan, bukan demi kesehatan, namun tak sabar untuk mengubah bentuk dan ukuran tubuh. Belum lagi penggunaan obat pelangsing yang takarannya lebih dari batas aman tubuh, dari mulai yang bersifat mempercepat metabolisme, menekan nafsu makan hingga mempercepat pembuangan tubuh. Ada juga berbagai perilaku tidak sehat seperti anorexia dan bullimia yang bisa merupakan cerminan kebencian diri terhadap tubuh.

Kita pun tidak jarang mendengar prosedur bedah plastik yang berulang-ulang, bukan karena tubuh kurang apik, namun hati yang tak kunjung puas.
Ada juga yang mencoba dengan jalan diet secara ekstrim, yang tidak saja berbahaya, namun juga segala pola diet terbukti tidak efektif di jangka panjang.

Ketika tubuh sudah mencapai berat badan yang diinginkan, semua perasaan hati yang tak terpuaskan karena selama diet harus menahan diri, seringkali muncul dengan ganas dan seketika mengembalikan kita pada pola makan yang tidak sehat, sehingga muncul istilah diet yo-yo, yang berarti berat badan kita turun naik secara fluktuatif akibat diet dan “balas dendam makan” yang silih berganti.

Sebenarnya bilamana citra tubuh kita lebih sehat, merawat dan mengolah tubuh dengan olahraga dan asupan gizi yang baik, adalah sesuatu yang sehat dan alamiah. Namun sebelum citra tubuh menjadi sehat, upaya yang baik seperti olahraga dan mengatur pola makanpun bisa menjadi obsesi yang tak berujung, dan tanpa kita sadari memperkuat kebencian terhadap tubuh kita.

Masalah 2: Pergaulan Sosial yang Tak Kunjung Nyaman
Ketika ketidaksukaan diri terhadap tubuh sendiri sudah begitu kuat, tidak peduli seberapa kita mengubah tubuh, mempercantik diri, memperindah penampilan, tetap saja kita tidak pernah merasa sepenuhnya nyaman hidup di dalam tubuh ini. Ketidaknyamanan akan diri sendiri ini akan mewarnai bagaimana kita menjalin pergaulan dan persahabatan.

Bilamana suatu saat Anda merasa letih bergaul karena tidak merasa ada koneksi yang otentik dari hati ke hati, namun yang lebih terasa adalah keramahan yang dibuat-buat, sadarilah bahwa mungkin saja citra tubuh Anda sendiri tanpa sadar telah mengajak Anda untuk lebih bisa diterima oleh lingkungan dengan cara “tidak menjadi diri Anda sendiri”.

Di frekuensi pergaulan seperti ini, ketika kita menampilkan diri dan mengungkapkan diri, batas antara menjaga penampilan menarik yang wajar dengan tampil gaya karena didorong kebencian pada tubuh sendiri, mulai menjadi samar. Samar karena ukurannya bukan pada seperti apa kita menampilkan diri, namun niat apa yang mendasari penampilan tersebut.

Lebih lanjut lagi, citra tubuh tidak sehat ini juga akan menimbulkan seringnya diri merasa tidak pernah cukup baik untuk diterima lingkungan, rasa percaya diri yang sangat rendah, dan bahkan semakin sering menilai dan mengkritik orang lain. Ketika kita menilai dan mengkritik orang lain yang tidak kita pahami sepenuhnya, seringkali bersumber pada ketidakcintaan kita pada diri dan tubuh kita sendiri, dan menjatuhkan orang lain bisa secara tidak langsung meningkatkan nilai penghargaan kita pada diri sendiri. Cukup berbahaya bukan?

Padahal ketika kita terus hidup dengan kebiasaan membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, ini adalah jalan pintas menuju depresi, rasa cemburu dan iri, serta ketidakbahagiaan.

Masalah 3: Berbagai Bentuk Adiksi / Kecanduan
Ketika ketidaksukaan terhadap diri begitu mengakar kuat, dan kita tidak tahu bagaimana lagi cara mengatasinya, maka kita akan cenderung mudah untuk mencari rasa nyaman yang bersifat instan, meski manfaatnya hanya sesaat, dan terkadang efek jangka panjangnya justru semakin merugikan kita.

Kecanduan / adiksi adalah salah satu bentuk pelarian nikmat sesaat yang terbentuk dan menjadi suatu kebiasaan yang mengikat batin. Dari mulai shop-aholic, food-aholic, work-aholic, sex-aholic, alcoholic, kapanpun kita terjebak dalam citra tubuh yang kurang sehat, maka kerentanan kita akan adiksi juga meningkat.

Khusus dalam kasus kecanduan ngemil atau makan, muncul juga paradoks yang cukup menjerat. Di satu sisi kita ingin berbahagia dengan tampil menarik dengan tubuh ideal, namun di lain sisi, kita memaksakan diri untuk menunda kebahagiaan yang sehari-hari kita peroleh dari menikmati makanan yang kita sukai. Di dalam tarik menarik antara kebahagiaan bertubuh ideal dengan kebahagiaan menikmati makanan ini, kita menemukan fenomena diet yo-yo (berat badan naik turun silih berganti), dan perasaan hati yang ikut ‘yo-yo’ (puas kecewa silih berganti).

Inilah juga mengapa banyak pakar penyembuhan, mengatakan bahwa diet saja tidak pernah akan efektif untuk jangka panjang. Bentuk dan berat badan yang sehat hanya bisa diperoleh ketika akar psikologis dan emosionalnya disembuhkan terlebih dahulu, dengan kata lain citra tubuh perlu dipulihkan kembali sehat.

Masalah 4: Problem Cinta dan Seksualitas
Dalam ranah kehidupan cinta dan seksualitas kita, yang memang sudah merupakan misteri tersendiri dengan segala kerumitannya, gejolak permasalahan pun sering berakar pada citra tubuh yang tidak sehat.

Pertama, seseorang yang perhatiannya terdominasi oleh tubuhnya semata, akan cenderung sulit untuk merasakan koneksi hati ke hati dengan pasangan cintanya, terutama kalau kebencian diri terhadap tubuhnya sendiri cukup kuat. Dia akan sering merasa tidak cukup baik untuk kekasihnya, rentan untuk jadi korban manipulasi emosional dari pasangannya, dan cenderung sering menyalahkan, baik dirinya maupun pasangannya, ketika timbul permasalahan.

Selain itu, seseorang yang membenci tubuhnya sendiri akan cenderung ketagihan kenikmatan fisik saja dalam ekspresi seksualnya. Dia juga cenderung lebih rentan untuk melanggar batasan seksual diri dan pasangannya. Dalam hubungan seksual, kenikmatan inderawi menjadi batas kepuasan maksimal, kalaupun masih bisa menikmati. Sulit sekali bisa merasakan koneksitas cinta dari hati ke hati dalam ekspresi seksual, apalagi mengalami transendensi spiritual melalui seks.

Menuju Citra Tubuh yang Sehat
Mencintai tubuh kita sendiri, dalam bahasa sederhana mungkin bisa digamblangkan dengan menerima tubuh kita apa adanya, dengan semangat menghargainya pada takaran yang sehat. Saya merenungkan 3 buah penghargaan yang bisa muncul ketika citra tubuh kita sehat, yaitu:

  • Menghargai Keunikan. Disinilah kita memahami bahwa sama seperti sidik jari yang tidak pernah sama, begitu juga tubuh kita. Tidak ada standar bentuk dan ukuran tubuh yang WAJIB dipenuhi, dan karena semua individu unik, maka konsekuensi dari keunikan adalah tidak perlu dibanding-bandingkan dengan orang lain yang unik juga.
  • Menghargai Perubahan Alami. Kita menyadari bahwa semua tubuh fisik punya fase alamiah yang sama dan dialami setiap orang, yaitu lahir, tumbuh/tua, sakit, dan pada akhirnya mati. Sekalipun kita sadar akan kenyataan universal dari tubuh fisik ini, kita bisa tetap merawatnya dengan baik.
  • Menghargai Perlunya Perawatan. Tubuh kita adalah satu-satunya kendaraan hidup yang kita miliki. Dalam takaran yang wajar dan alamiah, kita masih bisa memberikannya nutrisi yang sehat, istirahat yang memadai, olahraga yang sesuai, mengurangi toksin yang kita berikan ke dalamnya, dan tentunya memelihara keselarasan pikiran dan hati. Perawatan ini tidak dimotori atas semangat mengubah diri karena membenci tubuh, namun karena kita mencintai diri, tubuh dan kehidupan ini.

Sudahkah Anda menyadari kesehatan citra tubuh Anda? Selamat merawat jiwa, memelihara tubuh, merayakan hidup.

17 Responses to “Ketika Tubuh Sendiri Tak Cukup Dicinta”

  1. kopi cina says:

    citra tubuh itu beda sama citra diri?? jadi bingung sayah….

  2. Bung Reza,

    Salam dari Dili, Timor-Leste!

    Menarik membaca tulisan-tulisan anda dalam blog ini. Sangat bermanfaat bagi saya.

    Salam,
    ABE

  3. onlyoneearth says:

    Hai Reza,
    baruuu saja pasienku gumon,
    “susu kedelai proteinnya tinggi ya dok?”
    “kalo dibandingkan susu tempe, jauh lebih tinggi tempe” jawabku
    “lagi program pembentukan nih dok….abis baca how to win ur date”
    Oaalaaa…jadi ingat susu pembentuk otot, aku lupa jeneng’e(konon keluaran Ade Rai)
    hmmm,
    setiap inci tubuh kita bisa jadi target pasar (yang tak kenal jenuh) memanfaatkan sifat tak mudah puas dalam diri. teman SMA saya bercerita,”kalo suami saya si Robert, dia akan ku kurung dalam rumah, takkan kubiarkan ngider kemana2 sendirian” pasalnya buah fitnes si Robert perfect bow! six pad, plus sayap kiri kanan ok punya, en lengan’e berorot-toot abiez. cewek2 pasti pada ngiler ngeliatnya…
    (saya cuma bisa senyamsenyum g jelas merespon omongan si Mala..)
    Pantas ajlah orang2 pada berlomba gedein otot, pantas juga produk pemutih laris manis ngungkuli bakul kacang,…hati mudah dibuat percaya oleh pasar.”Anda tak lengkap, ada yang kurang dalam diri Anda tanpa (topeng)itu semua”
    Relalah kita jadi bulan2an ‘citra’ pasar.
    Padahal, bila kita meminta jawaban yang jujur ke dalam diri kita,”apa yang benar-benar tubuh (dan jiwa) saya butuhkan
    juga apa yang benar-benar saya butuhkan dari seorang partner?”
    Kulit halus bak porselen ato mulus bak pantat bayi tidak akan memberi rasa aman bila pemiliknya temperamen, picik, egois
    Otot megar sebakpao shangtung tidak mampu melindungi bila pemiliknya emosian, ringan tangan, bosenan
    Hidup dengan diri sendiri ataupun bersama seorang partner, adalah hidup dengan ‘isi dalamnya’ apa yang terbentuk dalam menjadi karakter dan kepribadiannya adalah ukuran sejati untuk kebutuhan rasa aman, nyaman dan adanya ruang untuk diri sendiri bertumbuh.
    Otot ‘isi dalam’ baca-jiwa inilah yang layaknya dilatih, dikuatkan, sehingga bakat mampu respek pada diri dan orang lain tidak mandul, bakat empatik tak melempem, bakat mencinta tanpa label harga/pamrih bisa berbunga tak kenal musim,
    hidup menjadi urusan berlatih mengalir dalam rupa kewajarannya, kebersahajaannya…hidup yang mencari tak jenuh meraba, menjejak ritme keseimbangan..ritme harmoni, ritme yang telah diinspirasikan utuh oleh alam..
    haalah..lagi kumat Reza, hehe, malah dadi nyaingi artikel asli,hihi..

    salam,
    chindy tan

  4. Dear kopi cina,

    Citra tubuh adalah bagaimana Anda menerima, menghargai dan mencintai TUBUH Anda sendiri.

    Citra diri adalah bagaimana Anda menerima, menghargai dan mencintai DIRI Anda sendiri.

    DIRI dan TUBUH adalah dua hal yang sangaaaat berbeda 😉

    Reza

  5. yeyen says:

    Pak Reza….

    Artikelnya bagus banget apalagi buat mahasiswa seperti saya….
    fenomena2 seperti di atas kerap terjadi di sekitar lingkungan kampus….
    Banyak mahasiswa yang saling berlommba2 untuk membentuk tubuhnya….
    ada yang diet hingga sakit maag, ada yang fitnes dan hanya mengkonsumsi telur putih yang direbus semua mereka lakukan demi membentuk tubuh yang dianggap ideal hingga melalaikan apa sih yang sebenernya dibutuhkan oleh tubuh kita….

    Saya baru sadar setelah membaca artikel ini….
    Bahwa kebiasaan membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, ini adalah jalan pintas menuju depresi, rasa cemburu dan iri, serta ketidakbahagiaan.
    Namun yang mau saya tanyakan sebenarnya membandingkan diri sendiri dengan orang lain itu salah ga??
    soalnya ketika kita terus membandingkan diri kita dengan orang lain seperti pepatah rumput tetangga selalu lebih hijau dan berujung dengan kecewa tiada akhir namun dengan membandingkan dengan orang lain terkadang itu menjasi motivasi kita untuk menjadi maju dan lebih berjuang.
    gmn ya Pak Reza?
    thx

  6. Dear Yeyen,

    Self Healing tidak pernah kuatir tentang ‘baik-buruk’ dan juga ‘benar-salah’. Yang paling penting adalah dengan kesadaran jernih, kita menentukan apakah sesuatu itu sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan diri kita pada saat ini.

    Membanding-bandingkan diri dengan orang lain, bisa berefek baik, namun dalam pengamatan saya lebih sering berefek buruk. Karena kita tidak akan pernah mencapai titik puas, titik cukup. Padahal penerimaan diri sendiri, yang berarti barulah kita bisa mencintai diri sendiri apa adanya, baru tercapai di titik tersebut.

    Jadi silakan pilih sendiri apa yang sesuai bagi kebutuhan Anda.

    Selamat berlatih,
    Reza

  7. ainun says:

    Pak Reza,
    Saya setuju bahwa akar psikologis dan emosional yang harus dibenahi dulu. Bagaimana caranya kita bisa “menemukan akar psikologis dan emosi kita sendiri”? Saya ingin mempunyai badan yang sehat, akhir-akhir ini banyak keluhan yang saya rasakan dan saya susah mengendalikan pola makan, padahal hasil pemeriksaan dokter badan saya baik-baik saja.

    Terimakasih & salam

  8. Pauline says:

    Dear Reza

    Saya sangat setuju dengan tulisanmu!
    Setelah dipikirin lagi….
    saya pernah ngalamin masa2 kurang mencintai tubuh.
    Ketika tubuh itu mencapai perfect buat saya,
    disitulah saya menemukan belahan jiwa…sekarang jadi mantan pacar…haha…

    Tapi, sekarang saya kurang mencintai tubuh saya lagi…
    Masalahnya adalah….yang namanya jerawat, ga pernah berhenti muncul…hix…hix… 🙁
    Akibatnya, kalo harus ngobrol face2face buntutnya pasti terpikir : Aduh, dia lagi ngeliatin muka gw ga y?!
    I always try to be my self sih…dan selalu PD dengan kemampuanku.
    Cuma ya…teuteup…kepikiran aja ttg muka, apalagi klo liat muka lawan bicara yg minus jerawat.

    Efeknya, pada akirnya ya selalu komentar ttg org lain…
    Kalo ada perubahan sedikit di diri org lain, pasti saya yg jadi bawel. Ga selalu dibahas secara langsung si, tp biasanya kubahas sama suami….mungkin lama2 kami bisa jadi stylist kali…hehe…

    Busway….eh…anyway,,,
    thank u so much for reminding us about this.

    🙂 Pauline

  9. JJ says:

    Dear Pauline,

    Biasanya saya hanya menjadi pembaca dan pengamat atas berbagai komentar di sini, tapi berhubung ada kesamaan di antara kita -yakni jerawat- saya merasa ingin memberi tanggapan. Hehehe.

    Saya sudah lama merasa frustrasi atas jerawat yang tidak kunjung sembuh, dan sudah bosan berkunjung ke dokter karena pengobatan yang saya dapatkan hanya bertahan sementara. Sebulan terakhir, saya memutuskan untuk berhenti berusaha dan memasrahkan apa pun hasilnya. Kekhawatiran terhadap pendapat orang memang sering sekali muncul, ditambah berbagai komentar, saran dan kritik dari orang2 yang ‘iba’ dengan kondisi wajah saya. Bila biasanya saya berkubang dalam rasa tidak percaya diri, kali ini saya menerima bahwa memang inilah keadaan saya, dan saya tetap berusaha merawat wajah dengan cara natural sambil memasrahkan hasilnya.

    Jerawat saya memang beranak-pinak dan belum sembuh hingga saya menuliskan komentar ini, namun kali ini saya merasa lebih rileks dan tidak terlalu tertekan memikirkan penampilan saya, serta lebih bisa menerima diri sendiri apa adanya. 🙂

    Mudah2an sharing ini bisa bermanfaat. 🙂

  10. yanne says:

    wah, seneng ada artikel baru!:)

    jd inget waktu kecil, saya srg disebut keling-kolang-kaling saking itemnya kulit saya. gelar itu bkn hanya terkenal di lingkungan keluarga saya, bahkan sampai menyebar di lingkungan tmp saya tinggal dulu dan gelar itu bertahan sampai saya kuliah. bayangkan bagaimana orang2 sekitar saya membentuk image diri saya berdasarkan warna kulit saya.

    even ketika setelah lebih dari 10 tahun gak ketemu, para2 tetangga ini memberikan pujian agak menyindir, “yanne putih ya sekarang.” kulit saya memang terlihat terang namun masih coklat kok. dan saya akhirnya menyukai warna coklat saya yg ternyata memang eksotik, haha!

    kenapa kecantikan harus identik dengan kulit putih dan tubuh langsing? en ngerasa gak sih, kadang kita menilai orang dari tampilan luar nya aja? kalo gak dandan and stylish, diliatin from head to toe. so shallow (jadi inget film Shallow hall).

    sori numpang keluarin uneg2. thx for the article. good one, as usual!:)

  11. Yoes Menoez says:

    Mas Reza, mecintai tubuh sendiri lengkap dengan segala keterbatasan maupun kekurangan (menurut ukuran orang kebanyakan lho…) memang butuh waktu ya?
    Saya dulu pernah tidak begitu suka dengan beberapa bagian tubuh saya, tapi sekarang saya kok gak merasa tidak suka tapi juga tidak merasa bangga, jadi biasa2 aja, ini bisa disebut MENERIMA juga kah? Meskipun kita bisa menerima kondisi tubuh kita, kadang orang lain yg rese, kalo dah lama gak ketemu ada aja yg bilang : “tambah ndut aja sih?” atau “kok sekarang iteman?”.
    Jadi sebenarnya, yg kadang2 tidak bisa menerima tubuh kita itu orang lain kan? Selama ini sih tidak pernah saya pikirin, tapi coba nanti kalo saya sudah punya suami dan suami saya yg complain, mungkin saya agak mikir2 juga kali ya? Soalnya, konon ketertarikan seksual laki-laki lebih secara visual.
    Gak heran ya kalau banyak perempuan “panik” kalo “wilayahnya luas” alias ndut?
    Salam kenal dari saya…

  12. Dear Yoes Menoez,

    Menerima diri dan tubuh sendiri, bukan berarti dan tidak sama dengan membanggakan diri dan tubuh kita.

    Ketika kita tidak menerima tubuh dan diri kita apa adanya, memang lebih mudah melepaskan ketidaksukaan terhadap diri sendiri dengan cara ‘rese’ dan mengkritik orang lain. Barangkali itu juga alasan mengapa kita dikomentari secara negatif dan berlebihan oleh orang lain.

    Tentang ketertarikan seksual, saya sudah tulis dalam artikel diatas bahwa kita sering salah meletakkan antara daya tarik fisik dan cinta. Dan ketika kedua tersebut salah peletakannya, kita jadi korban salah paham sendiri.

    Tidak jadi masalah, tak perlu pusingkan orang lain, perhatikan saja rasa dalam diri, dan berproses untuk lebih bisa menerima diri, apa adanya.

    Reza

  13. Dear Ainun,

    Anda bertanya “Bagaimana caranya kita bisa menemukan akar psikologis dan emosi kita sendiri?”

    Silakan baca artikel berikut berjudul “Tubuh Ideal Berawal dari Citra Tubuh yang Sehat”.

    Terimakasih, dan semoga bermanfaat,

    Reza

  14. kopi cina says:

    oh, jadi beda ya cara diri mencitra tubuh dan diri mencitra diri? maksudnya citra luar dan dalam, begituh?

  15. vera says:

    assalamualaikum…
    saya ini sedang mengerjakan skripsi yang berhubungan dengan usaha membangun daya tarik fisik, tetapi saya belum mendapatkan aspek-aspeknya. mungkin anda bisa menjelaskan kepada saya aspek-aspek apa saja yang terdapat dalam usaha membangun daya tarik fisik..

    terimakasih..
    dan salam kenal dari saya

  16. rose says:

    Rasa kurang percaya diri krn bentuk tubuh itu… timbul tenggelam…

    Saya termasuk gemuk sampai cari pakaian susah, tapi tidak termasuk obese. Dan jujur saya males bgt kalau ketemu orang komentarnya ‘kurusan’ atau ‘gemukan’, ga punya topik lain! >.<

    Dan saya suka makan. Kalau dikasih makanan hampir selalu pasti dihabiskan. Kalau lewat jajanan baru, kalau ada uang pasti dibeli. Kalau stress? Saya makan.. kalau lg senang karena berhasil mencapai suatu prestasi? Saya makan… jatuhnya apa-apa.. makan.

    Dan jadinya ada perang antara perasaan gemuk dan perasaan suka makan… biasanya saya akhirnya bilang 'bodo amat' dan tetap makan 😛 .

    Akhir-akhir ini saya berdamai sama tubuh saya. Saya akuin saya suka makan dan saya tidak berminat untuk mengubah hal tersebut untuk badan 'ideal', saya baca-baca dan sadari betapa rusaknya kultur badan ideal dengan segala macam iklan dan tabloid yg ujungnya komersil, dan saya merasa bangga bahwa saya memiliki bentuk badan yg curvy– gemuknya saya justru membentuk bokong yang indah 😉 .

    Damai sama diri sendiri ini tercapai karena saya:
    1. Googling BBW atau big beautiful women yang menunjukan, orang gemuk bukan berarti jelek… yg bikin jelek itu rasa tidak percaya diri DAN bagaimana kita memilih pakaian. Soal memilih pakaian ini bukan soal ikutin mode, tapi belajar untuk tahu pakaian apa yang cocok untuk bentuk tubuh, bagian tubuh mana yg mesti ditonjolkan dengan kontras warna, stripe, dll..
    2. Sadar diri bedanya badan ideal sama badan SEHAT. Saya jalan 15 menit tiap hari krn saya suka dan saya merasa lebih sehat dengan jalan ini. Saya juga tahu makanan yang saya konsumsi jarang sekali yg daging saja atau ayam suntik, saya suka makan sayur dan ikan, dan mengkonsumsi susu yang dicampur dengan kopi, jd diet saya walau tidak ideal, cukup bagus.
    3. Saya nyaman dengan habit saya, terserah orang mo ngomong apa, ga ada urusannya toh mereka sama saya. habit saya ga merugikan mereka dan byk orang yg habitnya lebih merugikan diri mereka seperti merokok.

  17. ripusa says:

    mas reza izin repost di g+ ya…sumbernya saya tulis lengkap…maaf n makasih sebelumnya…